PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO PENYALURAN DANA PADA PERBANKAN SYARIAH
Oleh: Darul Ulum, SE.I
A. Pengantar
Perbankan merupakan penggerak roda perekonomian bagi suatu negara sehingga bank mempunyai peranan yang penting bagi dunia bisnis yang dijalankan oleh para pelaku usaha baik secara makro ataupun secara mikro agar pelaku usaha tersebut dapat menjalankan, memperluas, dan mengembangkan kegiatan usahanya (Abdul Ghafur Anshori, 2008: 312).
Lahirnya undang-undang no. 10 tahun 1998, tentang perubahan atas undang-undang no. 7 tahun 1992 tentang perbankan, pada bulan November 1998 telah memberi peluang yang sangat besar bagi tumbuhnya bank-bank syariah di Indonesia. Undang-undang tersebut memungkinkan bank beroperasi sepenuhnya secara syariah atau membuka cabang khusus syariah (unit syriah).
Bank sebagai perantara keuangan (financial intermediary institution) tidak hanya mempunyai tugas menghimpun dana (funding) dari masyarakat, akan tetapi bank harus juga menyalurkan dana (landing) yang diwujudkan dengan melaksanakan kegiatan-kegiatan pembiayaan (financing) sebagai tugas pokoknya, pelaksanaan tugas pokok ini diwujudkan dalam penyediaan dana bagi pihak-pihak deficit unit (membutuhkan dana) (2008, 176).
Dalam kegiatannya tersebut perbankan selalu senantiasa berhadapan dengan berbagai risiko, dan harus diakui bahwa sesungguhnya industri perbankan
adalah suatu industri yang serat dengan risiko, terutama karena melibatkan pengelolaan uang masyarakat dan diputar dalam bentuk berbagai investasi, seperti perkreditan, pebelian surat-surat berharga dan penanaman dana lannya.
Perkembangan ekonomi global, khususnya dalam perkembangan dalam bidang perbankan ditandai dengan beroperasinya bank dengan prinsif syariah. tentunya membawa peluang dan risiko yang makin besar pula dalam duania perbanakan. Untuk itu setiap perbanakan harus meningkatkan fungsi pengendalian intern serta pengelolaan risiko yang komperhensif. Dengan sasaran agara setiap risiko yang berpotensi terhadap kerugian dapat diidentifikasi oleh manajemen sebelum transaksi atau pemberian kredit dilakukan.
Mulai tahun 2004 yang lalu bank Indonesia dalam hubungannya dengan pengembangan pengelolaan risiko telah mengeluarkan berbagai ketentuan yang harus diikuti oleh perbankan nasioanl. Diantaranya adalah pemebentukan komite manajemen risiko dan satuan kerja manajemen risiko. Dimana satuan kerja manajemen risiko berfungsi untuk memastikan pelaksanaan proses manajemen risiko berjalan lancar dan memberi gambaran profil risiko kepada manajemen (Palmirma, 2007, artikel dakam http://www.vibizinews.com).
Sesuai dengan ketentuan bank Indonesia tersebut, semua bank harus menerapkan manajemen risiko sesuai dengan roadmap dan pedoman yang telah dikeluarkan oleh bank Indonesia tersebut. Banyak pihak menilai manajemen risiko sebagai beban untuk bank dan untuk nasabah. Untuk bank, banyak yang
pekerjaan dan biaya untuk memenuhi kebijakan bank Indonesia. Dan untuk nasabah, mereka masih melihat penerapan manajemen risiko sebagai suatu hal yang merepotkan, hal ini karena nasabah harus memberikan data tambahan kepada pihak bank (Djajawinata,2008, artkel dlm http://www.viaconsulting.com).
Proses manajemen risiko merupakan suatu hal yang mutlak, jika kita ingin menghindari kerugian dalam usaha atau bisnis. Struktur tata kelola manajemen risiko bank yang kuat menjadi dasar evaluasi keseimbangan antara risiko dan tingkat pengembalian untuk menghasilkan pendapatan yang bekesinambungan, mengurangi potensi kredit macet (non performing loan), mengurangi fluktuasi pendapatan dan meningkatkan nilai bagi pemegang saham (Team infobank.com, 2007, artikel dalam http://www.infoperbankan.com).
Penerapan manajemen risiko, apakah berupa risiko kredit, risiko pasar, ataupun risiko operasional, sepantasnya mendapatkan dukungan penuh, bukan hanya dari industri perbankan, tetapi juga dari komunitas pengguna jasa perbankan (nasabah) (Djajawinata,2008).
Karenanya, untuk meminimalisir risiko-risiko yang dihadapi, manajemen bank harus memiliki keahlian dan kompetensi yang memadai, sehingga berbagai risiko yang berpotensi muncul dapat diantisipasi dari awal, dan dicari cara penanganannya secara lebih baik. Diharapkan risiko yang muncul dapat ditekan seminimal mungkin, sehingga potensi kerugian yang akan diderita dapat ditekan seminimal mungkin.
Manfaat dari penerapan manajemen risiko oleh perbankan adalah bagi bank, manajemen risiko memberikan penghematan modal yang harus dicanangkan, kredit macet (NPL non performing loan) lebih rendah, competitive adventage, dan keuntungan yang lebih besar. Bagi nasabah, manajemen risiko dapat memeberikan bagi hasil/ keuntungan yang lebih baik, jaminan keamanan dalam menggunakan jasa perbankan syariah khususnya dan perbankan umumnya.
B. Intermediasi Keuangan
Informasi asimetris mendorong kurangnya kepercayaan yang mendasar. Ketika dua orang menandatangin kontrak tidak dapat secara independen mengamati hasil yang sma dari biaya yang sama, ada kemungkinan pihak yang satu menyembunyikan fakta, dan dengan melakukan hal tersebut menodrong pihak lain untuk melakukan keputusan berbeda dengan keinginannya (Harper dan Ecihberger, dalam Sitorus, 2008, artikel dalam http://garisgaris.wordpress.com).
Perusahaan Keuangan bertujuan meningkatkan tingkat kepercayaan antar pihak dengan mendesain kontrak-kontrak untuk mengurang masalah insentif yang paling mendasar. Dalam hal ini, intermediasi merupakan respons terhadap mekanisme berbasis pasar yang secara efisien menyelesaikan problem informasi (Sitorus, 2008).
Secara alami bank mampu melakukan kesepakatan dengan berbagai tipe peminjam dan dengan kerangka aturan serta kelembagaan yang sesuai, bank memiliki persiapan yang lebih baik dalam menghadapi asymmetric information.
Sebagai lembaga keuangan, bank berfungsi sebagai perantara keuangan atau financial intermediary dari dua pihak, yakni pihak yang kelebihan dana(surplus) dan pihak yang kekurangan dana (deficit). Bank menerima simpanan uang masyarakat (dana pihak ketiga). Kemudian uang tersebut
dikembalikan lagi kepada masyarakat dalam bentuk kredit dengan pengenaan suku bunga (nisbah bagi hasil, pen.) tertentu.
Dalam hal ini mengandung pengertian bahwa faktor “kepercayaan” dari masyarakat atau nasabah merupakan faktor utama dalam menjalankan bisnis pebankan. Dengan demikian manajemen bank akan dihadapkan pada berbagai usaha untuk menjaga kepercayan tersebut, agar tetap memperolah simpati dari calon nasabahnya. Faktor lainhya, bank sebagai lembaga intermediasi keuangan adalah faktor likuiditas, artinya bank memiliki kemampuan dalam memenuhi kewajiban finansialnya yang segera harus dilunasi.
Dalm hal ini bank harus setiap saat dapat menyediakan dana kas bila ada diantara deposan yang akan menarik tabungannya, dan pihak bank aharus dapat mencairkan kredit yang telah disetujuinya. Factor lain yang perlu diperhatikan oleh bank adalah kemampuan untuk memperoleh laba (rentabilitas), yang merupakan tolak ukur keberhasilan dalam pengelolaan bank. Semakin tinggi likuiditas dan rentabilitas suatu bank, semakin tinggi pula kepercayaan masyarakat. Dengan demikian bank sebagai lembaga intermediasi keuangan dapat meningkatkan peranannya sebagai penghimpun dan penyalur dana dari masyarakat (Martono,2004:19).
C. Risiko
1. Pengrtian Risiko
Risiko dalam berbagai bentuk dan sumbernya merupakan komponen yang tak terpisahkan dari setiap aktivitas. Hal ini dikarnakan masa depan merupakan sesuatu yang sangat sulit diprediksi. Tidak ada seorang pun didunia ini yang tahu dengan pasti apa yang akan terjadi dimasa depan, bahkan mungkin satu detik kedepan. Selalu ada elemen ketidak pastian yang menimbulkan risiko (Dradjad H. Wibowo, dalam Masud Ali, 2006;xix)
Ada dua istilah yang sering dicampur adukkan yaitu ketidakpastian dan risiko. Sebagian orang menganggapnya sama. Sebagian lagi menganggapnya berbeda. Disini yang membedakan kedua istilah tersebut karena pengelolaannya berbeda. Ketidakpastian mengacu pada pengertian risiko yang tidak diperkirakan (unexpected risk), sedangkan istilah risiko itu sendiri mengacu kepada risiko yang diperkirakan (expected risk). (Djohanputro, 2006, dalam Amiruddin Prisetyadi, artikel dalam http://astarhadi.blogspot.com/2007)
Menurut kamus ekonomi, risiko adalah kemungkinan mengalami kerugian atau kegagalan karena tindakan atau peristiwa tertentu. Sedangkan menurut Herman Darmawan (2006:1) risiko senantiasa ada karena mengenanya dengan kemugkinan akan terjadi akibat buruk atau akibat yang merugi, seperti kemungkinan kehilangan, cidera, kebakaran, dan lain sebagainya.
Resiko menurut wikipedia indonesia adalah bahaya yang dapat terjadi akibat dari sebuah proses yang sedang berlangsung atau kejadian yang akan
datang. Dalam bidang asuransi, risiko dapat diartikan sebagai suatu keadaan ketidak pastian, dimana jika terjadi suatu keadaan yang tidak di kehendaki dapat menimbulkan kerugian. (http://id.wikipedia.org).
Risiko dalam konteks perbankan menurut Adiwarman A. Karim (2004:255) merupakan suatu kejadian potensial, baik yang dapat diperkirakan (anticipated) maupun yang tidak dapat diperkirakan (unanticipated) yang berdampak negatif terhadap pendapatan dan permodalan bank. Sedangkan Eddie Cade menyatakan, bahwa definisi risiko berbeda-beda, tergantung pada tujuannya.
Definisi risiko yang tepat dilihat dari sudut pandang Bank adalah, exposure terhadap ketidakpastian pendapatan. Sedangkan Philip Best menyatakan bahwa risiko adalah kerugian secara finansial, baik secara langsung maupun tidak langsung. Risiko Bank adalah keterbukaan terhadap kemungkinan rugi (exposure to the change of loss) (Erdatna, 2008). Dalam konteks perbankan risiko merupakan potensi terjadinya suatu peristiwa (events) yang dapat menimbulkan kerugian Bank.
2. Macam-Macam Risiko
Risiko, pada umumnya, tidak lain merupakan ketidak pastian (uncertainties) yang berujung pada terjadinya berbagai tingkat profability yang buruk atau bahkan menimbulkan kerugian. Bagi perbankan, ketidak pastian yang menyebabkan adverse impect on profability tersebut berakar dari berbagai ketidak
pastian pula. Perkembangan perbankan yang semakin luas dan dalam telah menciptakan peluang begi terjadinnya jenis risiko dalam sekala yang semakin tinggi (H.Masud Ali, 2006: 101).
Menurut dampaknya risiko dapat digolongkan kedalam dua golongan yaitu Risiko sistematik (systematic risk) adalah risiko yang tidak dapat didiversifikasi. Ciri dari risiko sistematik adalah tidak dapat dihilangkan atau dikurangi dengan cara penggabungan berbagai risiko. Dan Risiko spesifik (specific risk) atau risiko yang dapat didiversifikasi atau dapat dihilangkan melalui penggabungan (Amiruddin Prisetyadi, 2007).
Bank Indonesia menyebutkan, risiko yang dihadapi bank itu mencakup risiko kredit, risiko pasar, risiko likuiditas, risiko operasional, risiko hukum, risiko reputasi, risiko strategis, dan risiko kepatuhan (Zainul Arifin: 2006:61).
Adapun risiko-risiko yang dihadapi oleh perbankan dalam kegiatan operasionalnya, menurut H. Masud Ali (2006:19) adalah sebagai berikut:
a) Risiko Pasar (market risk)
Yang dimasud dengan risiko pasar adalah risko kerugian yang terjadi pada portofolio yang dimiliki oleh bank akibat adanya pergerakan variabel pasar (adverse moment) berupa suku bunga dan nilai tukar.
Risko pasar ini mencakup empat hal yaitu risiko tingkat suku bunga (interest rate risk), risiko pertukaran mata uang (foreign exchange risk), risiko harga (price risk), dan risiko likuiditas (liquidity risk).
– Risiko tingkat suku bunga (interest rate risk)
Risiko tingkat suku bungan adalah risiko yang timbul sebagai akibat dari fluktuasi tingkat bunga. Meskipun bank syariah tidak menetapkan tingkat bunga, tetapi bank syariah tidak akan terlepas dari risiko tingkat suku bunga. Hal ini disebabkan pasar yang dijangkau bank syariah tidak hanya nasabah yang loyal penuh terhadap syariah.
– Risiko pertukaran mata uang (foreign exchange risk)
Risiko pertukaran mata uang adalah suatu konsekuensi sehubungan dengan pergerakan atau fluktuasi nilai tukar terhadap rugi laba bank. Meskipun treasuri bank syariah tidak terpengaruh risiko kurs secara langsung hal ini karena adanya sayarat tidak boleh melakukan transaksi yang bersifat spekulasi, tetapi bank syariah tidak dapat terlepas dari adanya posisi dalam valuta asing.
Risiko valas ini akan meningkat jika jumlah porsi yang diambil besar, baik posisi long maupun short, dan fluktuasi pasar tinggi. Oleh karena itu, bank syariah perlu menetapkan exposure limit, transaction limit, currency limit, turnover limit, cut loss limit, intraday limit, dan counterparty limit.
– Risiko harga (price risk)
Risiko harga dalah kemungkinan kerugian akibat perubahan harga instrumen keuangan. Untuk perbankan syariah, disamping risiko tersebut yang masih sangat terbatas (obligasi, reksadana, dan saham syariah). juga terkait risiko harga komoditas baik dalam transaksi ijarah, murabahah, salam, istisna’, dan ijarah muntahiyah bit tamliki (IBMT).
Risiko tersebut terjadi bila harga yang dibeli atau dipesan turun, sehingga nasabah tidak berminat untuk membeli, meskipun pada awalnya telah setuju untuk membeli. Sebaliknya, bila harga naik, maka secara tidak langsung bank akan terkena risiko tingkat suku bunga.
– Risiko likuiditas (liquidity risk)
Risiko likuiditas adalah risiko yang antara lain disebabkan oleh ketidak mampuan bank untuk memenuhi kewajibannya pada saat jatuh tempo. Sebagaimana bank-bank pada umumnya, bank syariah juga menghadapi risiko likuiditas seperti sebagai berikut:
– Turunnya kepercayaan nasabah terhadap sistem perbankan, khususnya bank syariah.
– Ketergantungan terhadap sekelompok deposan.
– Dalam mudharabah kontrak, kemungkinan nasabah untuk menarik dananya kapan saja, tanpa pemberitahuan terlebiha dahulu
– Mismatching antara dana jangka pendek dengan pembiayaan jangka panjang
– Keterbatasan instruemen keuangan untuk solusi likuiditas
– Bagi hasil antar bank kurang menarik, hal ini karena final settlement-nya harus menunggu selesainya perhitungan cash basis pendapatan bank yang biasanya baru terlaksana pada akhir bulan.
b) Risiko Kredit/Pembiayaan (credit risk)
Risiko kredit atau pembiayaan adalah risiko dari kemungkinan terjadinya kerugian bank sebagai akibat dari tidak dilunasinya kembali kredit/pembiayaan yang diberikan bank kepada debitur atau counterparty lainnya (Masud, 2006: 27)
Risiko pembiayaan muncul jika bank tidak bisa memperoleh kembali cicilan pokok dan atau bunga nisbah bagi hasil dari pinjaman yang diberikan atau invstasi yang sedang dilakukan. Penyebab utama terjadinya risiko pembiayaan adalah terlalu mudahnya bank memberikan pinjaman atau melakukan investasi karena terlalu dituntut untuk memanfaatkan kelebihan likuiditas, sehingga penilaian kredit kurang cermat dalam mengantisipasi berbagai kemungkinan risiko usaha yang dibiayainya.
Risiko ini akan semakin nampak ketika Perekonomian dilanda krisis atau resesi. Turunnya penjualan mengakibatkan berkurangnya penghasilan, sehingga perusahaan mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajiban membayar hutang-hutangnya. Hal ini semakin di perberat dengan meningkatnya tingkat bunga, dan ketika bank akan mengeksekusi kredit macetnya, bank tidak memperoleh hasil yang memadai, karena jaminan yang ada tidak sebanding dengan besarnya kredit yang diberikannya.
Risko ini dapat ditekan dengan cara memberikan batas wewenang keputusan kredit bagi setiap aparat perkreditan, berdasarkan kapabilitasnya (authorize limit) dan batas jumlah (pagu) pembiayaan yang dapat diberikan
pada usaha atau perusahaan tertentu (credit line limit), serta melakukan diversifikasi (Muhamad, 2005:358-359). Dalam bank syariah, risiko kredit/pembiayaan mencakup risiko terkait produk dan risiko terkait korporasi (Adiwarman, 2006:260).
c) Risiko Operasional (operational risk)
– Risiko operasional (operational risk) adalah risiko terjadinya kerugian bagi bank yang diakibatkan oleh ketidak cakapan atau kegagalan proses dalam memanajemen bank, sumber daya manusia, dan sistem. Risiko kerugian tersebut dapat pula terjadi sebagai akibat dari faktor-faktor diluar bank.
Risiko ini mencakup lima hal yaitu, risiko risiko kepatuhan (reputation risk), risikom transaksi (compliance risk), risiko strategis (strategic risk), dan risiko hukum (legal risk) (Adiwarman, 2006: 275). Dampak dari risiko opersaional tersebut dapat betrupa:
– Penarikan besar-besaran terhadap dana pihak ketiga
– Timbul masalah likuidasi
– Ditutup oleh Bank Indonesia (BI)
Kegiatan mobilisasi dan penanaman dana (opersaioanal) sangat ditentukan dapat tidaknya bank dalam mengelola berbagai risiko yang berklaitan dengan usaha tersebut.
MANAJEMEN RISIKO
1. Pengertian Manajemen Risiko Perbankan
Bank sebegai lembaga intermediasi merupakan salah satu komponen utama yang mendukung pertumbuhan ekonomi suatu negara. Selain itu, bank juga merupakan jenis usaha yang selama ini banyak ditempa berbagai masalah (risiko). Sebagai lembaga keuangan yang serat dengan regulasi, bank menjalankan bisnisnya dengan keharusan mengambil risiko agar dapat tumbuh secara berkesinambungan.
Menurut Wikipedia Indonesia Menejemen Resiko adalah proses pengukuran atau penilaian risiko serta pengembangan strategi pengelolaannya. Strategi yang dapat diambil antara lain adalah memindahkan risiko kepada pihak lain, menghindari risiko, mengurangi efek negatif risiko, dan menampung sebagian atau semua konsekuensi risiko tertentu (http://id.wikipedia.org).
Manajemen risiko dalam bank islam mempunyai karakteristik berbeda dengan bank konvensiona, terutama karena adanya jenis-jenis risiko yang khas melekat hanya pada bank-bank yang beropersi secara syariah. Dengan kata lain, perbedaan mendasar bank islam dan bank konvensional bukan terletak pada bagaimana cara mengukur (how to measure), meliankan pada apa yang dinilai (what to measure). Perbedaan tersebut akan tampak terlihat dalam proses manajemen risiko operasional bank islam yang meliputi identifikasi risiko, penilaian risiko, antisipasi risiko, dan monitoring risiko. ( Adiwarman : 2006:256)
2. Manajemen Risiko Pebankan
Sebagai lembaga intermediary dan seiring dengan situasi lingkungan eksternal dan internal perbankan yang mengalami perkembangan yang pesat, perbankan pada umumnya dan perbakan syariah pada khususnya akan selalu berhadapan dengan berbagai jenis risiko dengan tingkat kompleksitas yang beragam dan melekat pada kegiatan usahanya.
Risiko-risiko tersebut tidak dapat dihindari, tetapi dapat dikelola dan dikendalikan. Oleh karena itu perbankan, dan bank syariah khusunya memerlukan serangkaian prosedur dan metodologi yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan risiko yang timbul dari kegiatan usahanya (Adiwarman, 2006: 255). Dalam pelaksanaannya, proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendali risiko memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1. Identifikasi risiko dilaksanakan dengan melakukan analisis terhadap :
a. Karakteristik risiko yang melekat pada aktifitas fungsional
b. Risiko dari produk dan kegiatan usaha.
2. Pengukuran risiko dilaksanakan dengan melakukan :
a. Evaluasi secara berkala terhadap kesesuaian asumsi, sumber data, dan prosedur yang digunakan untuk mengukur risiko,
b. Penyempurnaan terhadap sistem pengukuran risiko apabila terdapat perubahan kegiatan usaha, produk, transaksi, dan faktor risiko yang bersifat material.
3. Pemantauan risiko dilaksanakan dengan melakukan :
a. Evaluasi terhadap eksposur risiko
b. Penyempurnaan proses pelaporan apabila terdapat perubahan kegiatan usaha, produk transaksi, faktor risiko, teknologi informasi dan sistem informasi manajemen risiko yang bersifat material.
4. pelaksanaan pengendalian risiko, digunakan untuk mengelola risiko-risiko tertentu yang dapat membahayakan kelangsungan usaha bank.
Menurut PBI (Peraturan Bank Indonesia) No. 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum, dinyatakan bahwa proses Manajemen Risiko Bank sekurang-kurangnya mencakup pendekatan pengukuran dan penilaian risiko, struktur limit dan pedoman serta parameter pengelolaan risiko, sistim informasi manajemen dan pelaporannya, serta evaluasi dan kaji ulang manajemen (Edatna, 2008).
PBI tersebut mengatur agar masing-masing Bank menerapkan Manajemen Risiko sebagai upaya meningkatkan efektivitas prudential banking. Konsep Manajemen Risiko yang terintegrasi, diharapkan mampu memberikan
suatu sort and quick report kepada Board of Director guna mengetahui risk exposure yang dihadapi Bank secara keseluruhan.
2.4. Risiko-Risiko Yang Dihadapi Bank Syariah
Secara umum, risiko yang dihadapi perbankan syariah bisa diklasifikasikan menjadi dua bagian besar. Yakni risiko yang sama dengan yang dihadapi bank konvensional dan risiko yang memiliki keunikan tersendiri karena harus mengikuti prinsip-prinsip syariah. Risiko kredit, risiko pasar, risiko benchmark, risiko operasional, risiko likuiditas, dan risiko hukum, harus dihadapi bank syariah. Tetapi, karena harus mematuhi aturan syariah, risiko-risiko yang dihadapi bank syariah pun menjadi berbeda.
Bank syariah juga harus menghadapi risiko-risiko lain yang unik (khas). Risiko unik ini muncul karena isi neraca bank syariah yang berbeda dengan bank konvensional. Dalam hal ini pola bagi hasil (profit and loss sharing) yang dilakukan bank syari’ah menambah kemungkinan munculnya risiko-risiko lain. Seperti withdrawal risk, fiduciary risk, dan displaced commercial risk. Dimana:
1. Withdrawal risk merupakan bagian dari spektrum risiko bisnis. Risiko ini sebagian besar dihasilkan dari tekanan kompetitif yang dihadapi bank
syariah dari bank konvesional sebagai counterpart-nya. Bank syariah dapat terkena withdrawal risk (risiko penarikan dana) disebabkan oleh deposan bila keuntungan yang mereka terima lebih rendah dari tingkat return yang diberikan oleh rival kompetitornya.
2. Fiduciary risk sebagai risiko yang secara hukum bertanggung jawab atas pelanggaran kontrak investasi baik ketidaksesuaiannya dengan ketentuan syariah atau salah kelola (mismanagement) terhadap dana investor.
3. Displaced commercial risk adalah transfer risiko yang berhubungan dengan simpanan kepada pemegang ekuitas. Risiko ini bisa muncul ketika bank berada di bawah tekanan untuk mendapatkan profit, namun bank justru harus memberikan sebagian profitnya kepada deposan akibat rendahnya tingkat return .
Risiko-risiko tersebut merupakan contoh risiko unik yang harus dihadapi bank syariah. Adapu risisko yang dihadapi bank syariah dalam operasional yang terkait denga produk pembiayaan yang dijalankan oleh bank syariah yaitu meliputi :
a) Risiko Terkait Produk
1) Risiko Terkait Pembiayaan Berbasis Natural Certainty Countracts (NCC)
Yang dimaksud dengan analisis risiko pembiayaan berbasis natural certainty countracts (NCC) adalah mengidentifikasi dan
menganalisis dampak dari seluruh risiko nasabah sehingga keputusan pembiayaan yang diambil sudah memperhitungkan risiko yang ada dari pembiayaan natural certainty countracts, seperti murabahah, ijarah, ijarah mutahia bit tamlik, salam dan istisna’. Penilaian risiko ini mencakup 2 (dua) aspek, yaitu sebagai brikut :
1) Default risk (risiko kebangkrutan).
Yakni risiko yang terjadi pada first way out yang dipengaruhi oleh hal-hal sebagai berikut:
a. Industry risk yaitu risiko yang terjadi pada jenis usaha yang ditentukan oleh hal-hal sebagai berikut.
– karakteristik masing-masing jenis usaha yang bersangkutan
– riwayat eksposur pembiayaan yang bersangkutan dibank konvensional dan pembiayaan yang bersangkutan dengan bank syariah, terutama perkembangan non performing financing jenis usaha yang bersangkutan.
– Kinerja keungan jenis usaha yang bersangkutan (industry financial standard).
b. Kondisi internal perusahaan nasabah, seperti manajemen, organisasi, pemasaran, teknis produksi dan keuangan.
c. Faktior negatif lainnya yang mempengaruhi perusahan nasabah, seperti kondisi group usaha, keadaan force manjeur, permasalahan hukum, pemogokan, kewajiban off balance sheet
d. (L/C impor, bank garansi) market risk (forex risk, interest risk, scurity risk), riwayat pembayaran (tunggakan kewajiban) dan restrukturisasi pembiayaan.
2) Recovery risk (risiko jaminan).
Yakni risiko yang terjadi pada second way out yang dipengaruhi oleh hal-hal sebagai berikut.
a. Kesempurnaan pengiktana jaminan.
b. Nilai jual kemblai jaminan (marketability jaminan).
c. Faktor negatif lainnya, misalnya tuntutan hukum pihak lain atas jaminan, lamanya transaksi ulang jaminan.
d. Kredibilitas penjamin (jika ada).
2) Risiko Terkait Pembiayaan Berbasis Natural Uncertainty Countracts (NUC)
Yang dimaksud dengan analisi Risiko Terkait Pembiayaan Berbasis Natural Uncertainty Countracts (NUC) adalah mengidentifikasi dan menganalisis dampak dari seluruh risiko nasabah sehingga keputusan pembiayaan yang diambil sudah memeprhitungkan risiko yang ada dari pembiayaan berbasis NUC, seperti mudharabah dan musyarakah. Penilaian risiko ini mencakup 3 (tiga) aspek, yaitu sebagai berikut:
a) Business risk (risiko bisnis yang dibiayai)
Adalah risiko yang terjadi pada first way out yang dipengaruhi oleh :
1. Industri risk yaitu risiko yang terjadi pada jenis usaha yang ditentukan oleh:
– Karakteristik masing-masing jenis usaha yang bersangkutan
– Kinerja keuangan jenis uasaha yang bersangkutan (industry financial standard)
2. Faktor negative lainnya yang mempengaruhi perusahaan nasabah, seperti kondisi group usaha, keadaan force majeure, permasalahan hukum, pemogokan, kewajiban off balance sheet (L/C impor, bank garansi), market risk (forex risk, interest risk, scurity risk), riwayat pembayaran (tunggakan kewajiban) dan restrukturisasi pembiayaan.
3. Shirinking risk (resiko berkurangnya nilai pembiayaan).Adalah risiko yang terjadi pada second way out yang dipengaruhi oleh:
a) Unusual bisiness risk yaitu risiko bisnis yang luar biasa yang ditentukan oleh :
– Penurunan drastis tingkat penjualan bisnis yang dibiayai
– Penurunan drastis harga jula barang/jasa dari bisnis yang dibiayai
– Penurunan drastis harga barang/jasa dari bisnis yang dibiayai
b) Jenis bagi hasil yang dilakukan, apakah profit and loss sharing atau revenue sharing
– Untuk jenis profit and loss sharing, shirnking risk muncul bila terjadi loss sharing yang harus ditanggung oleh bank
– Untuk jenis revenue sharing, shirnking risk terjadi bila nasabah tidak mampu menanggung biaya (nafaqah) yang seharusnya ditanggung nasabah, sehingga nasabah tidak mampu melanjutkan usahanya.
c) Disaster risk yaitu keadaan force majeure yang dampaknya sangat besar terhadap bisnis nasabah yang dibiayai bank.
4. Character risk (risiko karakter buruk mudharib) yaitu risiko yang terjadi pada third way out yang dipengaruhi oleh hal berikut:
a) Kelalaian nasabah dalam menjalankan bisnis yang dibiayai bank
b) Pelanggaran ketentuan yang telah disepakati sehingga nasabah dalam menjalankan bisnis yang dibiayai bank tidak lagi sesuai dengan kesepakatan
c) Pengelolaan intenal perusahaan, seperti manajemen, organisasi, pemasaran, teknis produksi, dan keuangan, yang tidak
business volume with too little capital). Keadaan ini akan menimbulkan krisis cash flow.
– Adverse trading
Adverse trading terjadi ketika nasabah mengembangkan bisnisnya dengan megambil kebijakan melakukan pengeluaran tetap (fixed costs) yang besar setiap tahunnya, serta bermain dipasar yang tingkat volume penjualannya tidak setabil. Perusahaan yang mempunyai karakterstik seperti ini merupakan perusahaan yang secara potensial berada dalam posisi yang lemah serta beresiko tinggi.
– Liquidity run
Liquidity run terjadi ketika nasabah mengalami kesulitan likuiditas karena kehilangan sumber pendapatan dan peningkatan pengeluaran yang disebabkan oleh alasan yang tidak terduga. Kondisi ini tentu saja akan mempengaruhi kemampuan nasabah dalam menyelesaikan kewajibannya kepada pihak bank. Sekalipun tidak dapat memprediksi arus likuiditas sebuah perusahaan, bank dapat menaksir apakah perusahaan tersebut memiliki likuiditas yang cukup atau dapat memperoleh dana tambahan untuk mempertahankan cash flow seperti sedia kala.
2) Risiko yang timbul dari komitmen kapital yang berlebihan
Sebuah perusahaan mungkin saja mengambil komitmen kapital yang berlebihan dan menandatangani kontark untuk pengeluaran bersekala besar. Apabila tidak mampu untuk meghargai komitmennya, bank dapat dipaksa untuk dilikuidasi. Bank maupun suplier pembayaran perdagangan sering kali tidak mampu untuk mengontrol suatu pengeluaran yang berlebihan dari sebuah perusahaan. Namun demikian, bank dapat mencoba untuk memonitornya dengan melakukan analisis, misalnya, neraca perusahaan tersebut yang terakhir dipublikasikan, dimana komitmen pengeluaran kapital harus diungkap.
3) Risiko yang timbul dari lemahnya analisis bank
Terdapat tiga macam risiko yang timbul dari lemahnya analisis bank, yakni sebagai berikut:
a) Analisis pembiayan yang keliru
Dalam konteks ini, terjadi bukan karena perubahan kondisi nasabah yang tak terduga, tetapi dikernakan memang sudah sejak awal nasabah yang bersangkutan beresiko tinggi. Keputusan pembiayaan bisa jadi adalah keputusan yang tidak valid. Kesalahan dalam pengambilan keputusan ini biasanya bersumber dari informasi yang tersedia kurang akurat. Untuk mengatasi hal
ini, bank memerlukan staf yang terlatih dan berpengalaman dalam menyusun suatu pendekatan pembiayaan.
b) Creative accounting
Creative accounting merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan kebijakan akuntansi perusahaan yang memberikan keterangan yang menyesatkan tentang suatu laporan posisi keuangan perusahaan. Dalam kasus ini, keuntugan dapat dibuat agar terlihat lebih besar, aset terlihat lebuh bernilai, dan kewajiban dapat disembunyikan dari neraca keuangan.
c) Karakter nasabah
Terkadang nasabah dapat memperdaya bank dengan sengaja menciptakan pembiayaan macet. Bank perlu waspada terhadap kemungkinan ini dengan mencoba untuk membuat suatu keputusan berdasarkan informasi objektif tentang karakter nasabah.
B.3. Dampak Dari Risiko Yang Dihadapi Bank Syariah
Sebagai dampak terjadinya risiko kerugian keuangan langsung, kerugian akibat risiko (risk loss) pada suatu bank dapat berdampak pada pemangku kepentingan (stakeholders) bank, yaitu pemegang saham, karyawan, dan nasabah, serta berdampak juga kepada perekonomian secara umum.
Pengaruh risk loss pada pemegang sahaman karyawan adalah langsung, sementara pengaruh terhadap nasabah dan perekonomian tidak langsung. Berikut akan diuraikan dampak potensial terhadap stakeholders dan ekonomi.
a. Dampak terhadap Pemegang Saham
Pengaruh risk loss terhadap pemegang saham antara lain:
1. Penurunan nilai investasi, yang akn memberikan pengaruh terhadap penurunan harga dan/atau penurunan keuntungan,turunnya harga saham menurunkan nilai perusahaan yang berarti turunnya kesejahteraan pemegang saham;
2. Hilangnya peluang memperoleh dividen yang seharusnya diterima sebagai akibat dari turunnya keuntungan perusahaan;
3. Kegagalan investasi yang telah dilakukan, hingga yang paling parah adlah kebangkrutan perusahaan yang melenyapkan nilai semua moal disetor.
b. Dampak terhadap Karyawan
Karyawan suatu bank dapat terpengaruh oleh peristiwa risiko (risk event) yang menimbulkan risk loss terkait dengan keterlibatan mereka. Pengaruh tersebut dapat berupa:
1. Dikenakan sanksi indisipliner karena kelalaian yang menimbulkan kerugian;
2. Pengurangan pendapatan seperti pengurangan bonus atau pemotongan gaji;
3. Pemutusan hubungan kerja.
c. Dampak terhadap Nasabah
Kegagalan dalam pengelolaan risiko dapat berpengaruh terhadap nasabah. Dampak yang terjadi dapat secara langsung maupun tiak langsung dan tidak seketika dapat diidentifikasikan. Pengaruh risk event yang berlangsung secara berkelanjutan, pada gilirannya akan menimbulkan risk loss terhadap kelangsungan usaha bank itu sendiri. Konsekuensi risk loss yang berdampak terhadap nasabah bank, adalah:
1. Merosotnya tingkat pelayanan;
2. Berkurangnya jenis dan kualitas produk yang ditawarkan;
3. Krisis likuiditas sehingga menyulitkan dalam pencairan dana;
4. Perubahan peraturan.
d. Dampak terhadap Perekonomian
Sebagai institusi yang mengelola uang sebagai aktivitas utamanya, bank memiliki risiko yang melekat (inherent) secara sistematis. Risk loss yang terjadi pada suatu bank akan menimbulkan dampak tidak hanya terhadap bank yang bersangkutan, tetapi juga akan berdampak terhadap nasabah dan perekonomian secara keseluruhan. Dampak yang ditimbulkan tersebut dinamakan risiko sistemik (systemic risk).
B.4. Manajemen Risiko Bank Syariah
Sebagai lembaga intermediary dan seiring dengan situasi lingkungan eksternal dan internal perbankan yang mengalami perkembangan yang pesat, perbankan pada umumnya dan perbakan syariah pada khususnya akan selalu berhadapan dengan berbagai jenis risiko dengan tingkat kompleksitas yang beragam dan melekat pada kegiatan usahanya.
Risiko-risiko tersebut tidak dapat dihindari, tetapi dapat dikelola dan dikendalikan. Oleh karena itu perbankan, dan bank syariah khusunya memerlukan serangkaian prosedur dan metodologi yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan risiko yang timbul dari kegiatan usahanya . Dalam pelaksanaannya, proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendali risiko memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1. Pemetaan Risiko Bisnis
Bank mengembangkan pemetaan risiko usaha(business risk mapping) untuk mengidentifikasi risiko utama yang mengancam perusahaan. Alat ini membantu bank untuk mengetahui dan menentukan tempat dimana risiko berada. Manajemen harus mengkuantifikasi magnitude dari risiko dan mengukur potensi dampaknya. Ada beberapa cara yang umum dilakukan, yaitu:
Potensi rugi ini diproyeksikan kedalam arus kas yang akan datang atau laba, termasuk dalam analisis sensivitas, stress testing (sebagai pelengkap pengukuran risiko suku bungs untuk melihat dampak terburuk), dan berbagai simulasi lain.
– Model keuangan untuk mensimulasi berbagai Risiko keuangan dn dampak dari berbagai scenario pada portofolio kredit dan modal.
– Mengantisipasi bencana yang akan mengganggu kelangsungan usaha, misalnya karena kelalaian atau bencana alam, system pengolahan data tidak berfungsi. Back-up data dan latihan (drill) menghadapi keadan darurat secara berkala akan dapat mengantisipasi apabila hal tersebut terjadi.
– Menilai Risiko teknis selama pembangunan produk baru dengan cara mengidentifikasi sedini mungkin potensi adanya kesalahan dalam proses pembangunmannya.
3. Teknik mengidentifikasi dan menilai risiko
Kelompok teknik ini akan membantu Manajemen dalam hal menetapkan fokus/memberikan perhatian dan mengakomodasi seluruh kegiatan pengelolaan Risiko.
Beberapa diantaranya yang lazim digunakan adalah:
– Brainstorming groups. Pejabat atau pegawai dari berbagai Satuan Kerja berkumpul untuk mendiskusikan atau menyatakan pendapat (brainstorm) atas sebuah atau beberapa isu.
– Workshop. Bank sebaiknya mulai memfasilitasi workshop yang focus pada Risiko yang akn menolonh pegawai untuk menetapkan dan memprioritaskan tujuan, mengidentifikasikan, dan menilkai Risiko.
– Questionnaires. Satuan Kerja Operasional diperlengkapi dengan kuesioner yang berisi tujuan dan risiko yang mungkin timbul.
– Self-assessment. Para manajer melakukan self-assessmant, dengan bantuan dari SKAI, Divisi Keuangan dan control, atau dari akuntan luar.
– Filters. Risiko dikaji terhadap beberapa filter seperti dampak yang tidak besar, Risiko yang terkaendali, rendahnya tingkat kemungkinan terjadi, dan lain-lain.
– Assessment matrix. Matrik ini mencangkup seperangkat pertanyaan yang meliputi elemem-elemen dari Manajemen Risiko dan pengendalian intern. Termasuk didalamnya, best practices.
– Risk identification templates. Satuan Kerja mendapatkan template yang akan membimbing mereka untuk mengidentifikasi dan mengkaji Risiko mulai saat mereka merencanakan dan menjalankan proses.
– “Bottom up” risk assessments. Satuan Kerja mengidentifikasi dan menilai Risiko. Hasilnya diakumulasi di tingkat pusat.
– Value at Risk (VaR) model and worst case model. Model ini digunakan untuk menilai Risiko dengan cara mengestimasi potensi
rugi terhadap nilai sebuah posisi atau portofolio dalam satu jangka waktu tertentu berdasarkan factor-faktor yang ada di pasar.
– Prioritizing risks. Risiko akan ditempatkan atau diatasi berdasarkan jenjang (rank) masing-masing.
4. Peran Internet/Intranet
Pemakaian Internet/Intranet semakin meningkat dalam mengelola Risiko. Alat ini digunakan untuk mempromosikan kewaspadaan dan pengelolaan Risiko, untuk mendapatkan informasi mengenai Risiko untuk area tertentu, berkomunikasi dengan pegawai, berbagai informasi mengenai Manajemen Risiko dengan Bank lain, dan mengkomunikasikan tujuan Manajemen Risiko Bank kepada publik.
B.5. Penerapan Manajemen Risiko Pembiayaan Pada Bank Syariah
Pengertian Pembiayaan adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.
Risiko Kredit atau Pembiayaan adalah Risiko kerugian yang dideritta Bank, terkait dengan kemungkinan bahwa pada saat jatuh tempo,
counterparty-nya gagal memenuhi kewajiban-kewajibannya kepada Bank. Risiko Pembiayaan muncul jika Bank tidak bisa memperoleh kembali cicilan pokok dan/atau bunga dari pinjaman yang diberikannya atau investasi yang sedang dilakukannya. Penyebab utamanya terjadinya risiko pembiayaan adalah terlalu mudahnya bank memberikan pinjaman atau melakukan investasi karena terlalu dituntut untuk memanfaatkan kelebihan likuiditas, sehingga penilaian kredit kurang cermat dalam mengantisipasi berbagai kemungkinan risiko usaha yang dibiayainya.
Definisi Manajemen Risiko adalah sebagai rangkaian prosedur dan metodologi yang digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan risiko yang timbul dari kegiatan usaha bank. Risiko Pembiayaan dapat diminimalkan dengan melakukan manajemen risiko secara baik. Manajemen Risiko ini dapat diawali dengan melakukan penyaringan (screening) terhadap calon nasabah dan proyek yang akan dibiayai. Jika pembiayan telah direalisasikan, pengendalian risiko pembiayaan dapat dilakukan dengan memberikan perlakuan (treatment) yang sesuai dengan karakter nasabah maupun proyek.